Pernah nggak sih kamu punya teman yang selalu pengen jadi pusat perhatian, gampang tersinggung kalau dikritik, dan suka banget ngerasa paling benar? Terus kamu mikir, “Jangan-jangan dia narsistik deh…”
Tapi jangan judge dulu. Narsistik itu apa, sih sebenarnya?
Secara umum, narsistik adalah sikap atau pola pikir yang berpusat pada diri sendiri secara berlebihan, sampai-sampai empati buat orang lain tuh nyaris tidak ada sama sekali. Tapi ini baru permukaan aja, lho.
Kalau udah sampai level ekstrem dan mengganggu relasi sosial, bisa jadi itu masuk ke dalam gangguan kepribadian narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD). Nah, NPD ini bukan cuma soal kepribadian "sombong" biasa, tapi udah masuk ranah klinis yang perlu ditangani serius.
Menurut DSM-5, seseorang bisa didiagnosis NPD kalau menunjukkan pola jangka panjang dari hal-hal berikut ini (minimal 2 dari 4 gejala):
Dan dua ciri khasnya:
Membahas mengenai teori, ada teori Teori psikodinamik (misalnya dari Heinz Kohut dan Otto Kernberg) yang menekankan bahwa di balik sikap arogansi seorang narsistik, sebenarnya ada luka batin dan harga diri yang rapuh. Sehingga, mereka memakai sikap "sombong" sebagai tameng dari rasa takut ditolak atau dianggap tidak cukup.
Saat ini, istilah NPD sendiri menjadi trend dikalangan Gen Z. Banyak Gen Z yang menyebut orang "toxic" atau "red flag" cuma karena mereka percaya diri atau suka tampil adalah NPD. Padahal nggak semua yang kelihatan "pede" itu narsistik. Bisa jadi, orang yang di-cap "narsistik" saat ini sedang berjuang banget secara emosional.
Sangat disayangkan sekali, dengan adanya “stigma” tersebut bisa jadi dapat membuat orang yang benar-benar memiliki NPD akan menjadi malu atau takut untuk mencari bantuan. Atau lebih parahnya, mereka akan semakin menutup diri dan menyakiti orang lain karena tidak dipahami.
Sekilas mirip, tapi sebenarnya beda arah.
Ada banyak pendekatan yang lebih manusiawi dan tetap efektif, misalnya:
Jadi, orang yang suka healing, journaling, atau selfie di depan kaca bukan berarti narsistik, ya! Bisa jadi mereka justru lagi proses mencintai diri sendiri.
Kalau orang sekitarmu memiliki ciri-ciri narsistik, ini beberapa hal yang bisa dicoba:
Kita semua punya sisi narsistik dalam kadar tertentu, dan itu manusiawi. Tapi kalau sampai merusak relasi atau bikin orang di sekitar merasa ‘kecil’, saatnya refleksi diri.
Jangan buru-buru nge-judge. Jangan juga menormalkan toxic traits. Karena paham perbedaannya adalah bentuk tertinggi dari self-awareness. Dan self-awareness adalah awal dari self-love yang sesungguhnya.
Kalau kamu punya pengalaman berurusan dengan orang yang sikapnya bikin kamu merasa kurang nyaman, atau kamu sendiri lagi takut disalahpahami karena dianggap “terlalu fokus sama diri sendiri”, cerita yuk. Bisa jadi kamu cuma butuh sudut pandang baru.