Selamat datang di Curcool Event Blog!
Di sini, kamu akan menemukan informasi terbaru tentang kegiatan online dan offline dari Curcool yang dirancang untuk meningkatkan pemahamanmu tentang kesejahteraan mental dan pengembangan diri.
Ada yang berbeda di hari itu di Panti Asuhan Dharma Aji Insan Surakarta. Bukan sekadar aktivitas komunitas biasa, melainkan ruang yang hangat dan aman yang tercipta untuk satu tujuan: mengenali rasa dalam diri dan menyalurkannya melalui seni lukis.
Acara bertajuk “Kolaborasi Komunitas: CURCOOL X INVOLUNTIR Surakarta – Art Therapy” mempertemukan dua komunitas yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kesehatan mental: para relawan dari Involuntir Surakarta dan tim Curcool yang dikenal melalui pendekatan budaya bercerita dan ekspresi diri.
Suasana mulai terbangun saat para peserta, baik anak-anak panti maupun para relawan diminta untuk memainkan peran-peran sederhana. Mereka membentuk tubuh menyerupai benda dan pohon menjadi bentuk-bentuk tak beraturan yang dirasa merepresentasikan diri mereka.
Sesi ini bukan sekadar permainan. Ini merupakan salah satu metode dalam art therapy melalui sebuah peran yang memiliki tujuan untuk membangun kepercayaan diri, membuka ruang interaksi, serta menciptakan refleksi personal melalui bahasa tubuh.
“Aku merasa lega karena bisa mengekspresikan diriku lewat bentuk-bentuk aneh yang belum pernah aku coba sebelumnya,” ujar salah satu peserta.
Setelah sesi peran, para peserta diajak berkumpul dalam sebuah lingkaran pembuka. Fasilitator dari Curcool memandu peserta untuk hadir secara utuh melalui napas yang disadari, tangan yang menyentuh dada, dan tubuh yang diizinkan untuk merasa.
Di sesi ini, keheningan mulai berbicara. Tangis kecil terdengar, dan ketika satu orang mulai meneteskan air mata, rasa itu menular, membuka pintu bagi peserta lain untuk ikut menyelami emosi masing-masing.
Dalam proses ini, peserta saling memegang pundak teman di kanan dan kiri mereka, lalu berdoa dalam diam. Tak perlu suara lantang; cukup dalam hati, namun energi baik yang mengalir akan tersampaikan.
Di penghujung sesi, para peserta diminta mengangkat tangan ke atas dan mengungkapkan segala isi hati kepada Tuhan. Suasana menjadi semakin emosional. Tangisan pecah, dan beberapa peserta masih menangis bahkan setelah sesi berakhir. Pelukan hangat diberikan satu sama lain. Tidak ada paksaan untuk berbicara, hanya kehadiran dan penerimaan yang tulus.
“Aku merasa terharu waktu lihat teman di sebelahku menangis. Rasanya pengen langsung aku peluk.”
“Sekarang aku lagi di titik rendah. Tapi di sini, aku bisa meluapkan semua yang aku rasakan. Aku bisa menangis dan merasa lega. Aku diterima karena di acara ini, aku boleh salah. Jadi nggak ada ketakutan, cuma rasa lega.”
Sebagai penutup, setiap peserta diberi media untuk melukis perasaan mereka hari itu. Tidak ada standar atau aturan estetika—hanya satu arahan: lukiskan apa yang kamu rasakan.
Art Therapy melalui media lukisan memberi ruang bagi peserta untuk mengekspresikan perasaan secara bebas dan autentik. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan dari teori psikoanalisis, khususnya gagasan Sigmund Freud dan Carl Jung, bahwa karya seni dapat menjadi cermin dari alam bawah sadar. Setiap gambar yang dibuat; baik rumah, bunga, pemandangan, hingga coretan gelap dengan titik terang, dapat dilihat sebagai simbol personal yang merepresentasikan emosi, harapan, bahkan konflik batin yang mungkin tak terucap secara langsung.
Lebih dari itu, Art Therapy juga berfungsi sebagai media katarsis, proses pelepasan emosi yang tertahan melalui ekspresi kreatif. Dalam melukis, peserta tidak hanya menggambar, tetapi sekaligus melepaskan beban emosi yang selama ini mungkin tersembunyi. Itulah sebabnya banyak dari mereka merasa lebih lega, ringan, dan diterima setelahnya.
Acara ditutup dengan refleksi singkat atas hasil lukisan dan sebuah surat cinta sederhana yang ditujukan kepada peserta lain di ruangan. Setiap orang pulang membawa sesuatu yang berharga: selembar lukisan, sebaris harapan, dan rasa yang lebih ringan.
Kolaborasi ini membuktikan bahwa saat komunitas bersatu dengan niat yang tulus, proses penyembuhan dapat hadir dengan cara sederhana namun bermakna.